AA/1, difoto pada 29 Agustus 2013
Perancangan rumah yang di-Arsiteki bapak Rimaldi Nurdin ini awalnya hanyalah berupa penyambungan titik demi titik, yang kemudian menjadi garis-garis. Garis-garis ini lalu bertransformasi menjadi bidang-bidang yang hingga saat ini membentuk ruang-ruang hidup kami.
Masih kemarin rasanya aku dalam raga yang berumur empat atau lima tahun tersandung di tangga rumah ini. Jatuh tepat di sudut tangga pada tulang kering kaki kanan. Jangan tanya seperti apa rasanya. Tangga di sebelahnya, jumlahnya dua anak tangga lebih banyak, adalah tempatku melompat terjun, dari atas ke bawah. Seru.
Di ruang tv jika kau datang pada waktu yang tepat, bisa engkau lihat ruang itu bisa ditransformasi menjadi satu sisi lapangan bulutangkis. Sisi lainnya ada diseberangnya, hanya saja level lantainya 30 cm di atas ruang tv. Railing yang membatasi kedua ruangan itu menjadi net nya. Lucunya, baru saat aku mengetikkan ini sekarang, aku sadar, bahwa net yang selama ini aku kenal, merupakan sebuah railing. Kami, Ayah-Bunda-dan aku rasanya tak pernah menyebut railing ini sebagai railing. Begitu juga orang yang datang, kami selalu memperkenalkannya dengan panggilan, "net".
Pada pelataran belakang rumah, dulunya hanya tanah. Ada 2 pohon hidup disana dan sebuah sumur yang besar, mungkin 1,5 meter diameternya. Di sana pernah menjadi dapur yang super sibuk ketika Makdang mengadakan pesta pernikahan, tempat Bunda mencabut gigiku, tempat Aik setiap hari mencuci dan menjemur baju, atau tempat peristirahatan Doggy sementara sebelum dipindahkan. Di sore hari, aku dalam raga berumur delapan atau sembilan tahun, bermain seluncuran di lantai keramik itu dengan lantai yang sudah ku sapu, kemudian disiram air (tergantung kondisi, menggunakan air atau air yang sudah dicampur sabun). Perlu berlari 3-4 langkah dulu untuk mendapatkan kecepatan awal lalu kemudian melipat kedua kaki seperti posisi duduk antara dua sujud, and then just slideeeeeeeee... Senang.
Awalnya, kamar Ayah-Bunda adalah kamarku juga. Sampai tiba masanya, yang juga diiringi perpisahan kepada majalah Bobo, aku harus berpisah untuk tidur sendiri, di kamar yang dulu kami sebut kamar Makdang. Lemari dua pintu dengan tinggi sekitar 150 cm berwarna coklat itu juga ikut pindah. Poster David Hasselhoff, pemeran utama serial Knight Rider (yang tentunya sudah saya coret-coret), pelan-pelan digantikan oleh poster-poster Spiderman dan superhero lainnya. Terakhir, lemari itu sudah Ayah cat menjadi warna Ivory White dan masih ada stiker Lazialita disana. Keluaran majalah Liga Italia, majalah yang sudah tidak terbit lagi.
Kalau istri ku kecilnya ingin bekerja dengan mengoperasikan meja kasir, kecilnya aku sepertinya ingin menjadi kernet bis kota. Lemari tiga pintu Ayah yang ditengahnya merupakan pintu full cermin, adalah tempat percobaanku menjadi kernet. Handle pintunya menjadi pegangan, simulasi terhadap pegangan di bis dan cermin lemari menjadi kaca bis. Dengan latihan ini aku jadi bisa bergantungan di bis ketika berangkat dan pulang sekolah.
Akan menjadi beberapa jilid buku rasanya jika aku menuliskan pengalaman puluhan tahun dilindungi atap AA/1 ini. Buku itu akan menjadi buku untuk bahan bacaan keluarga sekaligus masuk kurikulum sekolah yang berisi komedi, romansa, religi, horror, misteri, tragedi, sejarah, ekonomi, seni, arsitektur, manajemen, fisika, kesehatan masyarakat, kedokteran, sosiologi, bahasa Inggris, bahasa Indonesia, bahasa daerah, keterampilan, kedisiplinan, kepemimpinan, kesabaran, pengorbanan, kemenangan, kekalahan,.. it taught us our life.
Rumah ini, akan selalu menyimpan semua kenangan kami. Hal yang sederhana seperti ketika kami makan malam bersama hampir setiap hari diruang yang sama, di meja makan bundar yang awalnya berwarna coklat kehitaman kemudian di cat ivory white juga oleh Ayah, diterangi lampu berwarna putih pada ceilingnya, akan selalu mengisi memori kami. Di ujung sana ada Aik yang dengan tenang menonton TV tanpa suara, duduk di tangga yang punya bekas darah kaki kanan tulang keringku. Di musim hujan, air mulai menembus nat keramik di ruang TV, menciptakan kolam dengan kedalaman 3-5 cm. Kalau saja kejadian banjir kecil-kecilan ini dialami Rai, kolam ini akan menjadi surga kecilnya.
Seringkali kami hanya berempat -termasuk Aik- dirumah ini. Tapi itu tak menjadikan rumah ini hening dan sepi. Gelak tawa, canda, dan derita yang kami alami telah membentuk dan menjadikan kami manusia seperti sekarang ini. Perantauanku sekitar 12 tahun yang lalu meninggalkan Ayah dan Bunda sebagai penghuni resmi yang tersisa. Dari apa yang kurasakan setiap pulang, rumah ini tak berubah menjadi dingin. Kehangatannya tetap ada. Masih, kehangatan sederhana. Entah itu hanya sekedar mencuci pakaian, menyantap makanan, atau kegiatan sendiri-sendiri mereka, tetap dilakukan berdua, di bawah atap ini.
Kekalahan rumah ini dari panasnya api bukan akhir bagi saya atau Ayah dan Bunda. Keikhlasan hanyalah satu hal yang harus kami miliki tanpa berharap apapun.
Terakhir, doaku, di rumah manapun Ayah dan Bunda berada, semoga mereka selalu menemukan rumah yang memberikan kehangatan yang sama seperti yang pernah AA/1 tawarkan kepada mereka.
AA/1 will always be our house and our home.
Selamat jalan AA/1. Terimakasih atas perlindungannya selama 25-an tahun terakhir ini.
Kamera ditaruh di atas net, 29 Agustus 2013
We shape our buildings; thereafter they shape us. - Winston Churchill -